Terkait Pilkada Sangihe, Posisi Jabes Dilematis

Nelson Sasauw

MANADO-Belum adanya keputusan final dari fraksi-fraksi di DPR RI soal apa perlunya dilaksanakan pilkada di tahun 2022 dan tahun 2023 dalam rencana revisi UU pemilu No 10 tahun 2016, dipastikan akan membuat posisi 2 kepala daerah di kawasan nusa utara masing-masing di kabupaten Sangihe dan kabupaten kepl. Sitaro akan berada pada posisi dilematis.

Mengapa demikian ? Jika DPR RI sepakat untuk tetap melaksanakan pilkada serentak (Pilpres, DPD, DPR, Pilkada dan DPRD Kabupaten kota serta provinsi) pada tahun 2024 mendatang, maka secara otomatis posisi Bupati Sangihe Jabes Gahgana, SE. ME akan tetap berakhir tahun 2022 mendatang. Sambil menunggu tahun 2024, sesuai ketentuan, Gubernur Sulut akan menunjuk Penjabat Bupati untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan termasuk menyiapkan tahapan pilkada di kabupaten Sangihe.

Dua tahun vakum dari kegiatan pemerintahan, bukanlah waktu yang pendek bagi Ketua DPD II Partai Golkar Sangihe ini untuk tetap menyakinkan masyarakat Sangihe ketika akan bertarung kembali di pilkada tahun 2024. “Butuh energi dan cost politik yang cukup untuk menyakinkan kembali konstituen, karena suasana politik saat itu yang bersangkutan (Jabes, maksudnya) sudah bukan pada posisi kepala pemerintahan,” tutur pemerhati masalah nusa utara Nelson Sasauw.

Dalam situasi politik Jabes sudah bukan lagi kepala pemerintahan, maka dirinya akan sulit mengendalikan pemerintahan termasuk mandetnya sosialiasi keberhasilan mantan Ketua DPC PDIP itu saat memimpin Sangihe. “Yang bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang program pemerintah kedepan maupun keberhasilan saat itu, hanyalah orang-orang yang berada dalam sistim pemerintahan itu sendiri. Mulai dari kepala SKPD, Camat, Lurah sampai pada Kepala Lingkungan. Diluar sistim pemerintahan, akan sangat sulit,” jelas Sasauw.

Namun, kondisi terbalik justru akan menguntungkan Jabes, jika DPR RI maupun pemerintah sepakat untuk menggelar pilkada serentak lanjutan pada tahun 2022 maupun tahun 2023 mendatang, mengingat akhir masa jabatan mantan wakil ketua DPRD SaTal itu tahun 2022 mendatang. “Dalam hitungan politik, apakah pilkada akan dilaksanakan tahun 2022, 2023 atau dilaksanakan secara serentak tahun 2024 mendatang, Jabes wajib membenahi sistim yang mulai rapuh di pemerintahan maupun masyarakat,” kata Sasauw.

Lanjut Sasauw, selisih hampir 11 ribu perbedaan suara antara Olly Dondonkambey dan Tety Paruntu dalam pilkada serentak 09 Desember 2020 lalu, bisa menjadi acuan atau prediksi capaian suara partai Golkar dan PDIP di pilkada serentak kabupaten Sangihe mendatang. “Kondisi politik tahun 2020 lalu memang berbeda dengan kondisi politik pada tahun 2022, tahun 2023 atau tahun 2024 mendatang. Hanya saja, terpuruknya suara Tetty-Sehan di pilkada serentak tahun 2020 lalu, bisa menjadi referensi bagi Golkar untuk berbenah diri,” saran Sasauw.(*)