MANADO- Gaung penolakan terhadap pelaksanaan SSI (Sidang Sinode Istimewa) yang direncanakan akan dilaksanakan 30-31 Maret mendatang terus disampaikan sejumlah pelayan khusus (Pendeta, Penatua, Syamas) termasuk kalangan tenaga kesehatan (Nakes). Dalam pemkiran mereka, BPMS GMIM perlu mengkaji kembali pelaksanaan SSI yang akan menghimpun orang dalam jumlah ribuan, sementara Presiden dan jajarannya sementara giat-giatnya memutuskan mata rantai penyebaran covid 19 di seluruh Indonesia. “Jika kegiatan ini tetap dipaksakan dan direkomendasi oleh satgas Covid 19, maka itu tamparan telak untuk tenaga kesehatan termasuk Presiden Jokowi,” kata Dr. Royke Burhan, mantan Sekretaris P/KB Jemaat Riedel Wawalentouan, Tondano.
Mantan staf dinas kesehatan kabupaten Minahasa yang kini dipercayakan sebagai konsultan kesehatan di salah satu perusahaan di Jakarta ini mengatakan, jumlah peserta yang hadir dalam pelaksanaan SSI diperkirakan bisa mencapai 2.000 orang, karena peserta SSI adalah utusan jemaat. “Kalau peserta SSI mencapai 2.000 orang dengan jarak duduk sejauh 1 meter atau lebih karena penerapan protokoler kesehatan, maka dibutuhkan gedung seluas 1 hektare. Mana ada lahan seluas 1 ha di Manado atau daerah lain di Sulut,” jelas Dokter Royke. Menurut Royke, ada 4 hal penting yang harus diperhatikan oleh BPMS GMIM termasuk Satgas Gugus Tugas Covid 19 jika memang acara tersebut harus dilaksanakan Maret 2021 mendatang,
Pertama, peserta yang akan hadir nanti wajib melakukan tes antigen dan bukan hanya sebatas mengukur suhu tubuh semata. “Kalau hanya sebatas rapid dan mengukur suhu tubuh, maka kita tidak bisa mendeteksi apakah peserta tersebut sementara terpapar virus C-19 atau tidak. Kalau hanya sebatas mengukur imun tubuh juga tidak bisa menjamin, apakah peserta tersebut steril atau tidak,” urai dokter yang pernah bertugas di RS Bethesda Tomohon ini.
Kedua, BPMS GMIM maupun tim kerja harus memastikan soal akomodasi peserta SSI. Peserta SSI lanjut dokter Royke biasanya datang dari seluruh penjuru GMIM yang ada di Sulut. “Apakah kita bisa menjamin bahwa peserta yang datang ini steril dari covid 19. Jika kita tidak mampu mendeteksi soal keberadaan peserta, maka para peserta SSI beropotensi membawa penyebaran virus C-19 kepada penghuni sarana akomodasi atau rumah yang akan mereka tempati,” ungkap dokter Royke yang juga pernah bertugas sebagai dokter PTT di Kalsel ini.
Ketiga, dalam sesion coffee break atau makan siang saat pelaksanaan SSI nanti akan satu-satunya momentum penyebaran covid 19. “Pada saat itu sudah pasti ada peserta yang akan membuka masker, merokok bahkan saling berdikusi. Nah, moment inilah yang menjadi moment penularan covid 19 lewat droplet diantara sesama peserta SSI,” beber dokter Royke.
Jika sudah tertular, maka secara otomatis peserta yang akan pulang yang terdiri dari Pendeta, Penatua dan Syamas sudah pasti akan membawa virus kepada keluarga bahkan di jemaat masing-masing. “Kalau sudah seperti ini, maka ini akan menjadi momentum yang paling menyedihkan di Sulut dikala pemerintah sementara giat-giatnya memutus mata rantai penyebaran covid 19 di Indonesia termasuk sudah pasti akan menciptakan kluster baru di Sulut. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab,” tanya dokter Royke.
Hal terburuk yang dialami oleh peserta SSI adalah, pemahaman penerapan prokes antara kaum awam dan tenaga kesehatan itu menurut dokter Royke jauh berbeda. “Sedangkan nakes saja paham tentang penerapan prokes ikut terpapar dan meninggal dunia apalagi kaum awam. Untuk itu sebaiknya SSI tahun ini dibatalkan karena pertimbangan keselamatan manusia,” ujar dokter Royke yang sama sekali tidak menjamin sterilnya pelaksanaan SSI jika memang harus dipaksakan akan dilaksanakan.(ms)