MANADO-Meskipun BPMS GMIM telah melakukan sosialisasi soal aplikasi Persidangan Majelis Sinode Istimewa (SMSI) tahun 2021 sejak beberapa hari lalu, namun sikap protes dari pelayan khusus (Pendeta, Penatua maupun Syamas) agar SMSI Maret mendatang ditunda dulu, terus mengalir. Bahkan, beberapa jemaat di GMIM telah membuat rekomendasi penundaan tersebut dalam sidang majelis jemaat.
Sebut saja jemaat GMIM Musafir Kleak, Wilayah Manado Barat Daya. Permohonan penundaan SMSI Maret 2021 mendatang ikut disetujui oleh seluruh pelayan khusus yang hadir termasuk unsur BPMJ. “Substansi yang diputuskan dalam sidang majelis jemaat adalah, belum terlalu urgen untuk melakukan perubahan Tata Gereja GMIM tahun 2016, apalagi hanya mengacu pada rekomendasi SMST (Sidang Majelis Sinode Tahunan),” kata Ketua Komisi P/KB GMIM Musafir Kleak Pnt. Drs. Dolvi Angkouw.
Mantan Ketua KPUD Kota Manado ini mengatakan, hal prinsip ketika akan melaksanakan SMSI untuk perubahan Tata Gereja adalah penganbilan keputusan itu harus dilakukan oleh 2/3 dari majelis sinode, bukan hanya dihadiri oleh utusan wilayah dan BPMS. Mana dokumen yang membuktikan bahwa 2/3 majelis sinode sudah setuju untuk melakukan perubahan. Kalau ada tolong ditunjukan kepada seluruh warga GMIM,” tegas Angkouw, yang juga anggota majelis sinode perutusan wilayah Manado Barat Daya.
Sekretaris P/KB Wilayah Manado Barat Daya ini juga mengatakan, mekanisme pelaksanaan SMSI dengan menggunakan pendekatan daring (dalam jaringan) sama sekali tidak diatur dalam Tata Gereja GMIM tahun 2016. “Makenisme daring dalam bentuk apapun tidak bisa. Karena dalam pembahasan Tata Gereja ada yang dinamakan sidang seksi dan sidang-sidang lainnya. “Dalam sidang tersebut butuh interaksi antar peserta, supaya pembahasannya bisa maksimal. Makenisme daring itu tidak diatur dalam Tata Gereja GMIM, dan dasar pelaksanaanya melanggar Tata Gereja GMIM,” tutur Angkouw yang juga mantan wakil ketua komisi Pemuda Sinode GMIM diera pemuda GMIM di pimpin oleh Ir. Marhanny Pua.
Lantas, hal-hal mana saja yang dinilai rancuh dan tidak masuk akal dari draft Tata Gereja GMIM yang mulai berdedar luas di jemaat-jemaat sekarang ini ? Alumni Fisipol Unsrat ini dengan polos mengatakan sedikitnya terdapat beberapa hal diantaranya, BPMJ bertanggung-jawab terhadap semua keputusan BPMS maupun keputusan wilayah. “Kasihan jemaat (BPMJ) harus menanggung semua hal-hal yang berhubungan dengan keputusan BPMS dan BPMW. Ini merupakan hal-hal yang ganjal secara theologia,” urainya.
Hal menarik lainnya menurut Penatua Dolvi dalam konsep perubahan Tata Gereja GMIM adalah, tidak dimasukannya unsur Ketua Komisi BIPRA dalam keanggotaan di Badan Pekerja (BPMS, BPMW & BPMJ) di semua aras pelayanan BIPRA. Lanjut Penatua Dolvi, semestinya tim perumus maupun BPMS belajar dari pengalaman dan history Gereja-Gereja lain (Keanggotaan PGI, maksudnya) yang lebih memberdayakan unsur BIPRA. BIPRA semestinya kata Angkouw harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari BPMJ, karena model pendekatan pelayanan saat ini tidak hanya terkosentrasi pada pendekatan teritorial tapi juga pendekatan fungsional dan kategorial. “Trend global pelayanan sekarang ini justru BIPRA menjadi bagian yang sangat penting dalam jemaat, bukan sebaliknya BIPRA justru harus dipisahkan dari badan pekerja di semua aras pelayanan (BPMS, BPMW maupun BMPJ),” jelas Angkouw.
Jika mau dipisahkan dari keanggota badan pekerja di semua aras pelayanan, maka ini sama saja dengan melemahkan fungsi BIPRA itu sendiri. “Tidak ada koordinasi. Support sistimnya menjadi lemah dan berpotensi BIPRA akan mencetuskan program tanpa lagi melakukan koordinasi dengan badan pekerja di semua aras pelayanan. Saya hanya berharap marilah kita melihat perubahan ini (Jika Perlu) dari kacamata iman bukan dari kacamata politik,” kata Angkjouw penutup pembicaraan.(ms)