MANADO-Meskipun terjadi pro dan kontra dihampir sebagian besar jemaat GMIM, namun agenda pelaksanaan SMSI (Sidang Majelis Sinode Istimewa) untuk perubahan Tata Gereja GMIM tahun 2016 tetap saja dilaksanakan Senin, (29/03) hari ini di Leilme Kegiatan akbar yang melibatkan ribuan peserta utusan jemaat dan wilayah se GMIM tersebut, tidak hanya membahas draft perubahan TG (Tata Gereja) tahun 2016 secara umum. Namun, beberapa kebutuhan mendasar dalam pelayanan GMIM seperti perubahan periodesasi pelayanan dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Kemudian, status dan kedudukan BIPRA tidak lagi sebagai eks officio di semua tingkatan badan pekerja majelis (Jemaat, Wilayah maupun Sinodal), perubahan penyebutan syamas ke diaken. Selanjutnya, perubahan status Badan Pengawas Perbendaharaan di semua tingkatan menjadi Komisi Kerja yang bertanggung jawab langsung ke badan pekerja mejelis. Serta konsep perubahan draf TG 2016 yang sempat menyita perhatian warga GMIM adalah, diperbolehkannya unsur BPMS GMIM untuk menempati 2 kali di jabatan yang sama.
Perubahan mendasar dalam TG tahun 2016 dalam pandangan Ketua Komisi P/KB GMIM wilayah Manado-Pineleng Pnt. Tommy Sampelan, SE dinilai terlalu sarat dengan kepentingan politik. Sebut saja penghapusan status eks officio BIPRA di unsur badan pekerja semua tingkatan, termasuk di unsur BPMS GMIM. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Politeknik Negeri Manado 2 periode ini mengatakan, selama ini banyak warga GMIM yang notabene menjabat sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah di 7 kabupaten/kota di Sulut (wilayah pelayanan GMIM), pimpinan lembaga negara maupun BUMN, anggota legislatif serta unsur lainnya terpanggil melayani sebagai pimpinan Kompelka BIPRA taraf sinodal. “Karena kedepan status BIPRA dibatasi secara kewenangan, maka kondisi ini akan berpengaruh terhadap pola pengambilan keputusan di semua tingkatan, termasuk di BPMS GMIM. Jangankan eks officio BIPRA dihapus. Saya melihat selama ini BIPRA tidak diberdayakan dalam keanggotaan BPMS GMIM,” tutur Sampelan yang juga ketua Komisi P/KB jemaat GMIM Kalvari Pineleng.
Lanjut Sampelan, dirinya merasa sangsi apakah produk Tata Gereja GMIM tahun 2021 ini akan tersosialisasi dengan baik kepada jemaat atau tidak, mengingat tahun ini GMIM akan djperhadapkan dengan agenda pemilihan pelayan khusus yang sudah dijadwalkan akan dilaksanakan 7 & 10 Oktober tahun 2021 mendatang. “Butuh waktu untuk membuktikan kepada jemaat soal produk hukum Tata Gereja GMIM. Butuh waktu untuk sosialisasi serta memberikan pemahaman kepada jemaat. Karena produk ini bukan hanya milik BPMS GMIM, tapi juga milik dari semua tingkatan warga GMIM. Jika sosialisasinya tidak maksimal, maka bisa terjadi pro dan kontra di jemaat soal pelaksanaannya yang nantinya akan membebankan BPMJ, BPMW maupun panitia pemilihan pelsus, yang jauh sebelumnya sudah dilantik oleh BPMJ,” tutur Pena Tomi (sapaan akrab Sampelan) yang juga Koordinator Daerah KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Provinsi Sulut ini.
Fenomena akan terjadi pro dan kontra di jemaat mulai terlihat sejak awal ketika banyak jemaat yang tidak merestui pelaksanaan SMSI untuk perubahan Tata Gereja GMIM. Bahkan menurut Pena Tomi, beberapa jemaat ikut memutuskan perlunya penundaan pelaksanaan SMSI tahun ini dalam sidang majelis jemaat. “Bahkan, perkembangan terkini justru menunjukan, komisi pemuda dan remaja sinode GMIM justru melakukan penolakan langsung dilapangan, lokasi pelaksanaan SMSI tahun ini. Ini fenomena tidak baik dalam berjemaat, apalagi kita sementara dalam penghayatan minggu-minggu sengsara Yesus Kristus,” saran Pena Tomi menutup pembicaraan.(ms)