Aroma Kasus Bupati Nganjuk Berpotensi Terjadi di Sulut, Rafli : Lelang Jabatan Jadi Pintu Masuk

Pakar Hukum Pidana Unsrat Dr. Rafli Pinasang, SH, MH.(dok)

MANADO-Kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat terkait dugaan suap jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nganjuk, Jawa Timur oleh KPK, sebaiknya tidak terjadi di 15 kabupaten/kota di Sulut termasuk di lingkungan pemerintah provinsi. Perubahan pemerintahan pasca pilkada serentak Desember 2020 lalu di Sulut, diyakini sangat berpotensi terjadinya transaksi ilegal yang berunjung pada pidana korupsi.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Unsrat Dr. Rafli Pinasang, SH, MH mengatakan, kabupaten Nganjuk merupakan fakta baru yang terungkap soal transaksi ilegal tersebut. Namun, fakta hukum di Nganjuk bisa saja terjadi di Sulut termasuk beberapa kabupaten/kota di Sulut yang baru saja di pimpin oleh kepala daerah yang baru. “Saya menduga indikasi itu ada di Sulut. Hanya saja belum terungkap karena belum ada ASN (Aparatur Sipil Negara) yang melapor karena ikut menjadi korban dari transaksi ilegal tersebut,” beber dosen pasca sarjana Unsrat tersebut.

Menurut Rafli, salah satu pintu masuk terjadinya transaksional jabatan di pemprov maupun kabupaten/kota adalah, dilaksanakannya lelang jabatan untuk jabatan kosong atau jabatan tertentu, yang biasanya dilaksanakan oleh panitia. “Kadang-kala mekanisme dan prosesnya hanya sebatas seremoni atau formalitas semata, tapi dalam proses itu berpotensi terjadinya transaksi ilegal yang bisa berunjung pada pidana suap,” kata staf pengajar FH Unsrat yang intens diminta menjadi saksi ahli dalam kasus korupsi di Polda maupun Kejati Sulut ini.

Dalam kondisi ini lanjut Rafli, maka dibutuhkan keberanian dari ASN atau peserta lelang jabatan untuk melaporkan setiap dugaan tindak pidana suap tersebut kepada aparat penegak hukum, meskipun mereka berada dalam tekanan. “Aparat penegak hukum juga jangan diam, harus pro aktif, karena ini menjadi ancaman lumpuhnya proses demokrasi di dunia pemerintahan. Sayang, jika harus menempati jabatan esolon II harus mengeluarkan dana dalam jumlah tertentu. Pelaku kejahatan seperti ini harus ditindak keras karena ini masuk kategori suap sesuai UU No 31 tahun 1999 dan Perubahan UU No 20 tahun 2021 tentang suap,” jelas Rafli seraya menyampaikan bahwa indikasi permainan dugaan suap seperti di Nganjuk terindikasi terjadi juga di sejumlah daerah di Sulut.

Perkembangan Kasus Bupati Nganjuk

Sementara, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat dijerat sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nganjuk, Jawa Timur oleh Bareskrim Polri. Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menyebut, Bupati Nganjuk Novi mematok harga dari Rp 10 juta hingga Rp 150 juta untuk pengisian jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk, Jatim. “Jadi dari informasi penyidik tadi untuk di level perangkat desa itu antara Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Kemudian untuk jabatan di atas itu sementara yang kita dapat informasi Rp 150 juta,” katanya saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/5).

Dia menduga Bupati Nganjuk Novi mematok harga mutasi jabatan dengan nominal yang lebih tinggi dari temuan awal. Agus menduga setiap perangkat desa yang ingin mendapat jabatan harus memberi uang pelicin terlebih dahulu kepada Novi. “Kalau tadi informasinya hampir di semua desa, perangkat desanya lakukan pembayaran. Jadi kemungkinan jabatan-jabatan lain juga dapat perlakuan yang sama,” ujarnya.

Selain Novi, Bareskrim Polri juga menjerat Camat Pace Dupriono (DR), Camat Tanjungnaom dan Plt. Camat Sukomoro Edie Srijato (ES), Camat Berbek Haryanto (HY), Camat Loceret Bambang Subagio (BS), Mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo (TBW), dan Ajudan Bupati Ngajuk M. Izza Muhtadin. “Selanjutnya Penyidik Dit Tipidkor Bareskrim Polri telah melanjutkan proses penyelidikan tersebut ke tahap penyidikan,” jelas Dir Tidpikor Bareskrim Polri Brigjen Djoko Poerwanto.

Penetapan tersangka terhadap mereka usai ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pihaknya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Djoko membeberkan modus operandi yang dilakukan para tersangka dalam kasus ini. “Modus operandi, para camat memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk melalui ajudan Bupati terkait mutasi dan promosi jabatan mereka dan pengisian jabatan tingkat kecamatan di jajaran Kabupaten Nganjuk,” terangnya. “Selanjutnya ajudan Bupati Nganjuk menyerahkan uang tersebut kepada Bupati Nganjuk,” Djoko menambahkan.

Ancaman hukuman pidana bagi para tersangka, yakni 1. Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. 2. Pasal 11 dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. 3. Pasal 12 B dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.(ms/merdeka.com)