JAKARTA-Perjuangan panjang dan berat harus dihadapi oleh mantan Bupati Talaud Sri Wahumi Maria Manalip, SE dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan setelah mantan Ketua DPC PDIP Talaud ini kembali diciduk KPK beberapa saat setelah bebas pada awal Mei 2021. Sri menyebut penangkapannya tidak sah. Sidang praperadilan yang dilaksanakan Senin (14/06) di PN Jakarta Selatan tersebut berlangsung di ruang 3, Jalan Ampera Raya, pukul 14.30 WIB. Bertindak sebagai hakim tunggal Hariyadi. Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 51/Pid.Pra/2021/PN JKT.SEL dan didaftarkan 5 Mei 2021.
Sri Wahyumi selaku pemohon diwakili pengacaranya, Teguh Samudera. Sedangkan pihak termohon, yakni KPK, diwakili Tim Biro Hukum KPK. Hakim terlebih dahulu mengecek surat kuasa kedua belah pihak. Permohonan gugatan dalam sidang ini dianggap dibacakan. “Dianggap dibacakan, Yang Mulia,” kata Teguh di hadapan hakim.
Teguh juga menyampaikan beberapa perbaikan dalam permohonannya. Kedua belah diminta menyiapkan alat bukti dan saksi apabila diperlukan. “Kesimpulan berarti hari Jumat. Besok jawaban ya. Rabu bukti, mau surat atau ahli, silakan. Agenda putusan Senin atau Selasa,” ujar hakim.
Ditemui seusai sidang, Teguh menjelaskan poin-poin yang menjadi gugatan Sri Wahyumi. Teguh mengatakan, penangkapan hingga penahanan kliennya tidak sah dan telah melanggar hak asasi. “Poin pertama adalah menyangkut masalah penetapan tersangka, yang kedua masalah penangkapan, yang ketiga masalah penahanan. Jadi penangkapan tersangka menurut KUHAP harus ada aturannya, harus ada dua alat bukti minimum. Nah, ini ditanyakan waktu diperiksa di lapas, dua alat bukti itu apa, tentang siapa yang misalnya memberikan gratifikasi, berupa apa, di mana, itu nggak dijawab penyidik,” jelas Teguh kepada wartawan.
Teguh menilai penangkapan Sri tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Dia menyebut apa yang dilakukan KPK itu tidak sah dan telah melanggar hak asasi manusia.
“Ini kan tidak jelas bagaimana caranya, dengan alasan apa, tahu-tahu ditangkap begitu saja, padahal tidak tertangkap tangan. Nah, sehingga karena itu menurut klien kami, itu melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan diajukan dalam praperadilan ini,” ungkapnya. Berikut petitum Sri dalam gugatan praperadilannya:
1. Mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan tindakan Termohon yang menangkap dan menahan Pemohon karena adanya dugaan melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan menurut hukum. Oleh karenanya, perintah penangkapan dan penahanan a quo tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
3. Memerintahkan Termohon untuk melepaskan dan membebaskan Pemohon dari Rutan KPK/Termohon karena Termohon telah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia in casu hak asasi Pemohon.
4. Menyatakan tidak sah segala keputusan ataupun penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon terhadap diri Pemohon.
5. Memerintahkan Termohon untuk memulihkan dan merehabilitasi nama baik Pemohon;
6. Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Termohon.
7. Atau – apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.(detiknews/politikanews)