2,350 Ijin Usaha Tembang Terancam Dicabut, Sangihe Paling Parah

Salah satu usaha tambang rakyat di pulau Jawa.(dok)

JAKARTA-Pemerintah akan mengkaji kembali sedikitnya 2.350 izin pertambangan di Indonesia, jika selama melaksanakan operasional perusahaan tidak menjalankan kewajiban dengan alasan yang tidak bisa diterima, maka izin usahanya akan dicabut, termasuk salah satunya pelanggaran penambangan yang terjadi di kabupaten Sangihe, Sulut.  Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan, jumlah izin tambang yang dievaluasi merupakan bagian dari 5.600 izin pertambangan yang ada saat ini.

Menurutnya, mulanya Presiden memerintahkan untuk meninjau kembali sebanyak 1.600 Izin Usaha Pertambangan (IUP), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), dan Kontrak Karya (KK). Menurutnya, di kabupaten Sangihe pelanggaran penambangan adalah melanggar UU Pulau Kecil, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil atau PWP3K.

“Di sekitar Pulau Sangihe juga ada pulau-pulau lainnya di sisi Timur dan Selatan. Apakah kajian pemerintah juga bahas pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan Sangihe ?” katanya kepada CNBC akhir Juni lalu.

Menurutnya, partisipasi masyarakat juga dilupakan, di mana warga hanya mendapat tawaran tanah seharga Rp 5.000 per meter atau hanya Rp 50 juta per hektar. “Penuh masalah karena tidak melibatkan mereka, padahal banyak sekali aturan gak hanya substansi tapi juga proses dari substansi, warga mendapatkan tawaran tanah Rp 5.000 per meter,” sesalnya.

Menanggapi kondisi ini Ketua Pusat Studi Hukum ESDM IKA Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Pakar Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wahyu Nugroho pun angkat bicara. Menurutnya, untuk menghindari kekisruhan seperti di tambang Sangihe, maka instrumen perizinan lingkungan hidup tidak dapat diabaikan, khususnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Dia berpendapat bahwa pemerintah harus memastikan apakah izin tersebut sudah tersinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah & Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). “Mengingat 80% wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan, sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya,” ungkapnyas.

Kemudian dari sisi sosiologis, perlu diperhatikan soal keikutsertaan masyarakat dalam proses wilayah penetapan pertambangan, Amdal, dan lainnya. Menurutnya masyarakat punya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Kalau tidak ada partisipasi masyarakat, itu menjadi cacat formil izin pertambangannya,” tuturnya.(politikanews/cnbc)